Senin, 10 Juni 2013

Pohon MASA DEPAN

 POHON MASA DEPAN
Di halaman sekolah, sebatang pohon tumbuh
Bercabang impian, berdaun bintang-bintang.
Di setiap Senin pagi, ketika berupacara bendera,
Anak-anak memandang pohon itu sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Indonesia Raya merdeka! Merdeka!
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia Raya merdeka! Merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya!

Ada anak yang menyanyikan lagu itu seperti tak merdeka. Dari kepalanya berhamburan impian-impian seperti gelembung udara yang terbang dan kemudian pecah di udara terbuka.

Di dalam kelas, bapak guru selalu berkata kepada mereka, ”Ayo, tanamlah olehmu Pohon Masa Depan!”
Ibu guru selalu bilang, ”Ayolah, tanam Pohon Kemerdekaan. Biar bercecabang jadi cerita di halaman masa depan. Biar suatu saat kamu bisa bersandar di keteduhan dan kekukuhan cabang-cabangnya, biar suatu saat kamu lihat burung-burung dan kupu-kupu membikin rumah dalam cinta dan bahagiamu.”

“Pohon apa, Bu?”
“Pohon Masa Depan.”
“Pohon Masa Depan?”
“Ya, Pohon Masa Depan. Pohon Kemerdekaan.”

Aneh, mereka belum pernah dengar nama pohon itu. Lalu, mereka cari nama itu di dalam buku, di dalam kamus, di perpustakaan-perpustakaan. Tetapi, mereka tak pernah menemukan nama pohon itu.

“Bu Guru, Pak Guru! Seluruh buku telah kubaca, seluruh perpustakaan telah aku datangi, tetapi kami tak menemukan nama pohon itu.”
Lalu, pak guru dan bu guru memandang mereka seperti gugusan hujan, seperti memandang bukit nun jauh di desa-desa.
“Carilah terus! Sampai kamu temukan pohon itu, maka belajarlah dan siapkanlah bagaimana cara mengolah tanah, bagaimana caranya mencintai kehidupan.”


Anak-anak itupun akhirnya kembali memasuki perpustakaan-perpustakaan. Mereka buka lagi buku-buku dengan melihat bab-bab dan rumus-rumus ilmu pengetahuan.

Demikianlah setiap hari mereka baca halaman masa depan. Mereka mulai menuliskannya dan menghafalkan huruf-huruf baru. Lalu mereka saksikan ilmu pengetahuan tumbuh bercecabang dari satu buku ke buku lain, dari satu pohon ke pohon yang lain. Bunga-bunga mekar dalam tatapan matahari. Bermetamorfosis dan berfotosintesis dalam pikiran mereka. Kupu-kupu dan burung-burung hinggap membikin sarang di dalam hati mereka. Pohon-pohon muda tumbuh menjalin masa depan dengan kesuburan humus yang mereka ciptakan.

Setiap hari, di sekolah, mereka jadi pemimpi yang mengharapkan pohonnya masing-masing. Di antara mereka ada yang bertanam pohon-pohon kecil, pohon-pohon besar, berbuah dan tak berbuah. Ada juga yang suka pada bunga. Ada juga lelaki malas yang hanya menanam pohon dengan berharap pada cuaca. Ada perempuan genit yang hanya manyukai bunga dan berharap suatu hari jadi artis.

”Aku ingin menanam pohon yang dari cabang-cabangnya berjatuhan tetesan getah!”, kata seseorang.
”Aku ingin menanam pohon yang dari daun-daunnya menguap bau surga.”
”Aku ingin menanam pohon yang tangkai-tangkainya dipenuhi buah.”
”Ah, kalau aku sih suka bunga. Jadi, kutanam saja bunga, biar dunia ini tetap cantik.”
“Aku ingin...”
“Sudahlah! Ayo, tanam olehmu pohon apa saja!”

Mereka olah tanah bumi sambil benyanyi,
“Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam
Menanam pohon di kebun kita.”
Mereka olah tanah bumi dengan gembira:
“Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam
Menanam pohon di kebun kita.”
Mereka olah tanah bumi dengan berharap panen di suatu saat:
“Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam
Menanam pohon di kebun kita.”

Lalu, mereka siapkan doa, mereka siapkan gembur tanah dan aliran air, udara dan cuaca.

Di awal musim, tangkai-tangkai daun tumbuh di dalam pikiran mereka. Bunga-bunga mekar.
Di halaman-halaman buku yang mereka baca, mereka selalu temukan satu bunga dan satu daun. Dan pada malam hari, ketika mereka buka halaman-halaman baru, mereka lihat bunga-bunga tumbuh dan hidup pada setiap kalimat dan paragraf. Jadi ladang dan kebun yang luas.

Bertahun-tahun mereka tanam pohon itu dalam hati dan pikiran mereka. Di kelas yang sunyi dan gaduh, di kelas yang bersih dan kotor. Lalu, kita lihat mereka jadi penanam dan penumbuh yang baik.
Suatu hari, di dalam kelas seorang anak berkata, ”Pak Guru, Bu Guru! Saya ingin menciptakan pohon baru. Pohon yang tidak dipunyai oleh siapapun!”
Ibu dan bapak guru itu menjawab, ”Ciptakanlah pohon itu! Ayo, lakukanlah!”
Tetapi, di antara bapak dan ibu guru itu ada yang menjawab, ”Jangan! Kau hanya boleh menanam pohon sesuai dengan petunjuk buku.”
”Kenapa?”
”Ya, harus begitu!”

Tetapi, anak itu memiliki impian yang keras kepala. Malam selalu membawa ia pada luas langit dan hamparan bumi di negeri-negeri jauh. Dalam mimpinya itu ia lihat pohon-pohon yang tak pernah dilihat. Ia temukan bunga-bunga yang tak pernah ditemukan di negerinya sendiri.

”Pak Guru, Bu Guru! Aku ingin menciptakan pohon baru!”
”Tidak boleh! Kamu jangan menjadi pembangkang.”
”Tetapi, aku hanya ingin pohon yang ada dalam mimpiku.”
”Tidak boleh! Kamu hanya boleh menanam pohon yang benihnya telah kami siapkan.”
”Tetapi, aku ingin...”
”Heh, Pembangkang!” Guru itu kemudian menggebrak meja.
”Aku telah tiga puluh dua tahun mengajar. Kamu mau jadi jagoan, mau merasa sok pintar? Keluar kamu! Keluar!”
Anak itupun keluar.

Bertahun-tahun, anak yang menginginkan pohon itu menjadi pemurung. Ia merindukan pohon impiannya. Ia merasa bahwa dirinya bersama seluruh pohon impiannya tak pernah tumbuh. Tak pernah diberi kesempatan untuk mekar dan berbuah. Ketika ditanya apa cita-citanya, ia kemudian menjawab, ”Aku ingin menjadi seorang demonstran.”

Ketika keluar sekolah dan tak melihat pohon impiannya, ia tebas semua hutan yang bisa ditebas, ia bakar seluruh pohon yang bisa dibakar. Ia hancurkan apa yang bisa dihancurkan. Di kota-kota, ia tumbuhkan api dan menciptakan kerusuhan. Ia runtuhkan gedung dengan lemparan batu dan mesiu. Ia kenang pohon impiannya yang hilang. Ia kenang kesuburan tanah dan hijau daun dalam hatinya. Dan dalam pohon-pohon tumbang, dalam reruntuhan kota, ia tulis grafiti:
”Aku kini memimpikan pohon yang tumbuh dari api!”


Yusuf Gigan, Risalah Cinta dan Pohon Masa Depan di Halaman Sekolah: Kumpulan Puisi, hh. 10-16, Cianjur: Forum Sastra Cianjur, 2004.